banner kabargunung

54 Tahun Proklamasi Papua Barat, Panglima Kodap II TOPO Nabire: “Kami Bukan Bagian dari NKRI”

kabargun | 596 views

Jul 2, 2025

Screenshot_20250702_083147

Poto : Upacara Peringatan Kemerdekaan Papua


Nabire, Kabargunung.Com — Memasuki peringatan 54 tahun Proklamasi Papua Barat pada 1 Juli 2025, Panglima Kodap II TPNPB-OPM West Papua Army (WPA) wilayah TOPO Nabire, Didimus Tigi, menegaskan kembali sikap tegas pihaknya bahwa Papua Barat bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kami bukan bagian dari NKRI,” tegas Didimus Tigi, yang berada di bawah struktur Divisi II Paniai Memonala. Ia menyampaikan pernyataan ini atas nama Kodap II dan Batalyon Dagou Nabire.

Menurutnya, perjuangan menuju kemerdekaan Papua adalah tugas kolektif yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh elemen masyarakat, baik sipil, politik, maupun militer.

“Kita harus terus bertahan dan berjuang hingga Papua merdeka. Semua organisasi, baik politik maupun militer, harus bersatu dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita satu tekad untuk mengusir penjajah dari tanah ini,” ujarnya.

Komandan Batalyon Dagou, Yustinus Degei, turut menyerukan persatuan rakyat Papua. Ia memperingatkan bahwa perpecahan hanya akan membawa kehancuran bagi manusia dan alam Papua.

“Kalau kita diam dan membiarkan perpecahan terjadi, maka kita akan mengalami genosida. Baik manusia maupun alam Papua akan musnah karena eksploitasi dan penggadaian sumber daya alam dalam berbagai bentuk,” tegasnya.

Aktivis dan juru bicara WPA, Tigi, menambahkan bahwa sejarah mencatat perbedaan bangsa Papua dengan penduduk Indonesia lainnya sudah diakui sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Ia mengutip pernyataan Mohammad Hatta dalam rapat BPUPKI tanggal 10–11 Juli 1945.

“Hindia Belanda minus Papua,” ujar Hatta saat itu, yang mengakui perbedaan mendasar secara etnis dan budaya antara suku-suku di Papua (Melanesia) dan suku-suku Melayu di Indonesia lainnya.

Yogi juga menegaskan bahwa bangsa Papua memiliki hak menentukan nasib sendiri secara geografis, antropologis, dan kultural, sebagaimana dijamin dalam prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Ia mengacu pada pernyataan Dewan Papua tahun 1960 dan Pasal 2 Resolusi Dekolonisasi 1514 (XV) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menegaskan hak setiap bangsa untuk merdeka dari penjajahan.

Didimus Tigi juga mengecam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 yang menurut pemerintah Indonesia adalah Act of Free Choice (AFC). Menurutnya, proses tersebut cacat hukum dan dilakukan dengan tekanan serta rekayasa.

Ia mengutip laporan Ortiz Sanz, utusan resmi PBB saat itu, yang mencatat bahwa PEPERA dilakukan dengan sistem musyawarah terbatas, bukan pemungutan suara langsung. Dalam laporan tersebut juga disebutkan adanya: Pemaksaan sistem musyawarah, Penolakan terhadap sistem gabungan, Rekayasa dalam pemilihan anggota Dewan Musyawarah Papua, Pembatasan kebebasan politik, Dan tekanan militer yang menyebabkan pelanggaran HAM

“Pelaksanaan PEPERA dilakukan di bawah tekanan dan intimidasi,” kata Didimus.

Lebih lanjut, Tigi menilai bahwa Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) yang diadopsi pada 19 Desember 1969 tidak secara tegas mengesahkan hasil PEPERA. Resolusi tersebut, menurutnya, hanya mencatat laporan Sekretaris Jenderal PBB dan tidak mengakui Papua Barat sebagai bagian sah dari Indonesia.

“Resolusi itu tidak mencoret Papua dari daftar wilayah dekolonisasi PBB. Ia hanya mencatat bahwa tugas Sekjen telah selesai dan menyarankan bantuan pembangunan internasional untuk Papua Barat,” jelasnya.


Redaksi: Vull

Post Views : 596 views

Berita Lainnya

Baca Juga

Pos Populer

3984931246225911134

Pengunjung