Poto : Menase Tabuni ( Presiden Eksklusif ULMWP)
Jayapura – Kabargunung.Com – Setelah 50 tahun menjalani pemerintahan sendiri dan mengakhiri era kolonialisme, Papua Nugini (PNG) telah berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam proses kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Sejak tahun 1975, ketika Australia melepaskan kendali atas wilayah Papua dan Nugini yang merupakan mandat PBB, berbagai kemunduran dan pelajaran dari pendekatan terhadap negara, kekuasaan, serta pemerintahan dalam sistem demokrasi yang baru muncul seperti PNG, menjadi fondasi penting untuk merancang arah pembangunan 50 tahun ke depan.
Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Menase Tabuni, menyampaikan pandangan ini saat PNG dan rakyatnya merayakan 50 tahun kemerdekaan dari Australia, pada hari ini, 16 September 2025.
Dalam pernyataannya, Tabuni menyoroti pentingnya Deklarasi 14 Butir Prinsip oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pada tahun 1919, yang bertujuan mengakhiri perebutan kolonial oleh negara-negara industri Eropa demi menguasai sumber daya alam dari wilayah non-Eropa, termasuk di kawasan Pasifik.
Menurutnya, pada dekade 1950-an dan 1960-an, prinsip-prinsip dekolonisasi ini sempat mendorong proses kemerdekaan bagi wilayah Nugini Barat (sekarang Papua Barat) yang saat itu masih di bawah Belanda. Namun, proses tersebut terganggu oleh dinamika Perang Dingin, dan janji kemerdekaan Papua Barat yang dijadwalkan pada 1971 hingga kini belum terwujud—menjadi luka yang masih terasa di antara negara-negara merdeka di Pasifik, termasuk PNG.
“Stabilitas yang diinginkan oleh kawasan Melanesia dan Pasifik tidak akan pernah terwujud selama pelanggaran hak asasi manusia oleh otoritas Indonesia terus berlangsung di Papua Barat,” tegas Tabuni.
Apresiasi untuk PNG dan Harapan untuk Perubahan
Tabuni menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Papua Nugini sejak kemerdekaan tahun 1975 yang telah menerima dan menampung dampak dari konflik di Papua Barat, termasuk pengungsi politik asal Papua Barat yang melintasi perbatasan sejak tahun 1950-an dan 1960-an untuk menghindari penganiayaan.
Para pengungsi tersebut, sebagian besar merupakan generasi terdidik pada masa pemerintahan Belanda, telah menjadi bagian dari kisah pembangunan dan sejarah bangsa PNG selama 50 tahun terakhir.
Ia juga mengapresiasi pergeseran sikap pemerintah PNG sejak tahun 2014 dalam merespons isu Papua Barat. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Peter O’Neill, PNG mulai mengakui ULMWP sebagai entitas payung perjuangan kemerdekaan Papua Barat, dan sebagai saluran utama untuk menyatukan diplomasi internasional dalam mengangkat isu penentuan nasib sendiri.
Tabuni mengungkapkan bahwa sejak 2016, PNG bersama negara-negara Melanesia yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) menghadapi tekanan dari Indonesia yang berusaha menghalangi Papua Barat menjadi anggota penuh MSG.
“MSG tidak boleh berhenti pada status pengamat bagi Papua Barat. Saatnya meninjau kembali rekomendasi tersebut dan memberikan keanggotaan penuh,” ujarnya.
Dorongan Diplomatik dan Lima Agenda Strategis
Tabuni menegaskan, setelah hambatan itu diatasi, isu Papua Barat dapat dibawa ke Sidang Umum PBB untuk mendorong resolusi yang akan menuntaskan proses dekolonisasi.
“Agenda standarnya adalah memastikan PBB mampu menyelesaikan dekolonisasi Papua Barat, sebagaimana yang pernah dilakukan untuk banyak negara lain di dunia,” jelasnya.
Ia mendorong Papua Nugini untuk mengambil sikap yang lebih tegas dan aktif secara diplomatik. Setelah 50 tahun merdeka, PNG sudah memiliki pengalaman dan posisi strategis untuk menyerukan kepada Indonesia agar berkomitmen pada proses dekolonisasi Papua Barat.
Tabuni menilai, jika Indonesia sendiri telah mengalami dekolonisasi dari Belanda, dan PNG dari Australia, maka pendudukan berkelanjutan atas Papua Barat oleh otoritas Indonesia adalah kebijakan yang keliru secara prinsip dan sejarah.
Ia juga memuji solidaritas negara-negara Melanesia, khususnya Vanuatu, yang terus menyuarakan dukungan terhadap hak Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri.
Lebih lanjut, Tabuni memaparkan lima langkah strategis yang dapat diambil PNG dan negara-negara sahabat atas rekomendasi komunitas internasional untuk mendukung perjuangan rakyat Papua Barat: (1). Meningkatkan kebebasan informasi dan pemantauan terhadap pelanggaran HAM massal dan potensi kekejaman di Papua Barat, (2). Mengelola konflik secara damai, dengan pendekatan non-kekerasan. (3). Menangani keluhan dan akar konflik yang dihadapi rakyat Papua. (4). Mengatasi titik-titik rawan konflik dan kekerasan milisi di wilayah tersebut. (5). Mendukung keadilan dan akuntabilitas sebagai pilar utama demokrasi.
Kritik terhadap “Act of Free Choice” dan Upaya Diplomasi
Sejak 1960-an, pemerintah Indonesia mengklaim kedaulatan atas Papua Barat sebagai final berdasarkan hasil referendum tahun 1969 yang dikenal sebagai “Act of Free Choice”, yang merupakan bagian dari Perjanjian New York (New York Agreement).
Namun, menurut para pengamat, proses itu cacat secara demokratis dan bertujuan menggagalkan agenda dekolonisasi Papua Barat.
“Kami telah meningkatkan upaya, termasuk melalui jalur diplomatik, dan berhasil membangun koneksi strategis dengan Pacific Islands Forum (PIF) dan MSG untuk memperjuangkan hak rakyat Papua Barat,” tegas Tabuni.
Langkah selanjutnya, menurut Tabuni, adalah mendorong salah satu negara anggota PIF atau MSG untuk mengajukan mosi di Sidang Umum PBB, agar proses dekolonisasi Papua Barat dapat dimulai secara resmi.
“Kami yakin, saat yang tepat akan datang. Saat di mana Papua Barat tidak lagi dibungkam, tapi diberi hak untuk berbicara tentang masa depannya sendiri.”
Redaksi: Vull
Post Views : 535 views
Posted in Uncategorized
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan…
Poto : Wakil Gubernur Papua Pegunungan, Dr….
Poto : Panglima Sabinus Waker Bersama Pasukan…
Poto : Yosua Maiseni Bersama Pasukan TPNPB-OPM…
Poto : Helikopter Kuning Tempat Pertambangan Papua…